Jumat, 28 Oktober 2016

Rasa Cukup

Rasa cukup
Suatu keadaan yg tidak mudah oleh sebagian atau sekelompok org,,bahkn oleh individu itu sendiri.
Rasa cukup akan memiliki difinisi yg beragam seiring dgn banyaknya pandangan/sudut pandang di gunakan.
Dlm islam sendiri,, istilah itu biasa d sebut qona'ah. Hal yg memank harus dimiliki setiap muslim, baik si kaya ataupun si miskin. Menyampingkan syahwat duniawi dgn benteng iman dan taqwa.
Bagaimana sikap kita terkait qona'ah?.
Islam mengajarkan untuk bekerja keras,,melakukan segala sesuatunya dgn totalitas.
Persoalan hasil yg tdk sesuai harapan adalah rencana Allah. Sosok mukmin yg ta'at menyikapi dgn qona'ah,,meyakini bahwa yg Allah berikan adalah skenario terbaik dan kita pemeran utamanya.
Sikap itu kembali kepada iman dan taqwa... Semakin kuat imannya,,semakin kaya hatinya,,yg pada akhirnya mengantarkan pd mahabbah pd sang pencipta.
25-10-16

Kamis, 12 Mei 2016

MAF’UL MUTLAQ



المفعول المطلق
(MAF’UL MUTLAQ)
الكاتب : محمد عبد الجلال
Maf’ul mutlaq ialah masdar yang disebutkan setelah fi’il dari lafadznya, untuk mengukuhkan ma’nanya, atau menjelaskan jumlahnya, atau menerangkan macamnya, atau sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya.
1.        Yang mengukuhkan ma’na fi’ilnya, seperti contoh :
وكلم الله موسى تكليماً (dan Allah telah berbicara kepada musa dengan langsung)
2.        Yang menjelaskan jumlahnya, seperti contoh :
وقفتُ وقفتين (saya telah berdiri dengan dua kali berdiri)
3.        Yang menjelaskan macamnya, seperti contoh :
سرتُ سيرَ العقلاء (saya telah berjalan dengan perjalanan seperti perjalanannya orang-orang yang berakal)
4.        Yang mengganti pengucapan fi’ilnya, seperti contoh :
صبراً على الشدائدِ (saya sabar dengan sesungguhnya terhadap beberapa kepayahan)
A.    MASDAR MUBHAM DAN MASDAR MUKHTAS
Masdar ada dua macam, yaitu :
1.        masdar mubham
2.        dan masdar mukhtas.
Masdar mubhan ialah masdar yang menyamai ma’na fi’ilnya tanpa tambahan dan pengurangan. Tetapi hanya untuk mengukuhkan atau sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya. Seperti contoh :
a.       Yang untuk mengukuhkan :
قمتُ قياماً (saya telah berdiri dengan sungguh-sungguh)
ضربتُ اللصَّ ضرباٌ (saya memukul pencui dengan sungguh-sungguh memukul)
b.      Yang sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya :
إيماناً لا كفراٌ (berimanlah dengan sesungguh iman dan janganlah kufur)
سمعاً و طاعةً (saya mendengar dengan sesungguhnya dan taat dengan sesungguhnya)
Karena ma’nanya adalahامنْ و لا تكفرْ  , أسمعُ و أطيعُ 
Oleh karena itu masdar seperti ini tidak boleh ditatsniyahkan dan tidak boleh di jama’kan. Sebab masdar yang bertujuan mengukuhkan berstatus seperti mengulang fi’il. Dan masdar yang mengganti fi’il berkedudukan seperti fi’il itu sendiri. Karena itu diperlakukan sebagaimana fi’il dalam hal tidak boleh ditatsniyahkan dan tidak dijama’kan.
Masdar mukhtas ialah masdar yang melebihi ma’na fi’ilnya, dengan sebab masdar itu memberikan penjelasan tentang macam atau jumlahnya.
Contoh :
a.       Yang menjelaskan macam, seperti contoh :
سرتُ سيرَ العقلاء (saya telah berjalan dengan perjalanan seperti perjalanannya orang-orang yang berakal)
b.      Yang menjelaskan jumlah, seperti contoh :
 ضربتُ اللصَّ ضربتينِ أو ضرباتِ (saya telah memukul pencuri dengan dua kali pukulan, atu beberapa pukulan)
Masdar yang menjelaskan jumlah boleh ditatsniyahkan dan boleh dijama’kan tanpa ada perbedaan pendapat. Sedangkan masdar yang menjelaskan macam, maka yang benar boleh ditatsniyahkan dan dijama’kan. Hal ini disamakan dengan masdar yang secara sama’i dapat ditatsniyahkan dan dijama’kan, seperti lafadz : العقول (beberapa akal pikiran) الألباب (beberapa akal,beberapa hati) الحلوم (beberapa akal,kesopanan,kesantunan). Oleh karena itu dibenarkan juga mengucapkan : قمتُ قيامينِ (saya telah berdiri dengan dua macam cara berdiri) dengan maksud نوعينِ من القيامِ  (dua macam cara berdiri).
Bentuk masdar juga mempunyai kekhususan, yaitu dimasuki “al al-ahdiyah”, seperti contoh :قمتُ القيامَ  (saya telah berdiri dengan cara berdiri yang telah diketahui) dengan maksud القيامُ الذى تعهّدُ (berdiri yang telah diketahui) dan juga dengan “al al-jinsiyyah” seperti contoh : جلستُ الجلوسَ (saya telah duduk dengan jenisnya duduk), juga boleh disifati, seperti contoh : سعيتُ فى حاجتكَ سعياً عظيماً (saya telah berusaha memenuhi hajatmu dengan usaha yang maksimal), dan juga boleh dimudhofkan, seperti contoh : سرتُ سيرَ الصالحين (saya telah berjalan dengan perjalanan seperti perjalanannya orang-orang shaleh)
B.     MASDAR MUTASHARIF DAN MASDAR GHOIRU MUTASHARIF
Masdar mutasharif ialah masdar yang dapat dan boleh dinashabkan sebagai bentuk masdar, dan dapat juga berlaku sebagai fa”il, atau naibul fa’il, mubtada’, khobar, maf’ul bih, dan lain-lainnya. Masdar ini meliputi semua bentuk masdar, kecuali sedikit sekali. Macam ini akan diterangkan mendalam.
Masdar ghoiru mutasharif ialah masdar yang senantiasa dibaca nashab dengan status masdar atau maf’ul mutlaq dan tidak dapat dipindah kepada status i’rob yang lain. Seperti lafadz : سبحان , معاذَ , لبّيك , سعديك , حنانيك , دواليك , حذاريك  masdar-masdar ini akan diuraikan penjelasannya pada uraian mendatang.
C.    LAFADZ PENGGANTI MASDAR
Ada beberapa lafadz yang dapat mengganti masdar, kemudian lafadz tersebut diberi status hukum seperti masdar, yaitu dibaca nashab untuk menjadi maf’ul mutlaq . lafadz-lafadz tersebut ada 12 macam, yaitu :
1.        Isim masdar, seperti contoh :
سلمتُ سلاماً (saya telah mengucapkan salam dngan sungguh-sungguh mengucapkan salam)
2.        Sifatnya masdar, seperti contoh : 
أذكروا الله كثيراً (sebutlah allah dengan sebanyak-banyaknya)
3.        Dhomir yang kembalikepada masdar, seperti contoh :
فإنى اعذبه عذاباً لا أعذبه أحداً من العالمين (maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah aku timpahkan kepada seorangpun diantara umat manusia)
4.        Sinonim masdar, seperti contoh :
قمتُ وقوفاً (saya telah berdiri dengan sungguh-sungguh berdiri)
5.        Suatu masdar yang sama asal musytaqnya, seperti contoh :
واللهُ أنبتَكمْ من الأرض نباتاً (dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya)
6.        Lafadz yang menunjukkan macamnya masdar, sperti contoh :
قعدَ القرفصاءَ (ia duduk dengan berjongkok)
7.        Lafadz yang menunjukkan jumlah atau bilangannya masdar, seperti contoh :
فجلدوهمْ ثمانين جلدةً (maka deralah mereka yang menudu itu dengan delapan puluh kali dera)
8.        Lafadz yang menunjukkan arti suatu peralatan yang dipakai oleh masdar, seperti contoh :
ضربتُ اللصَّ عصاً (saya memukul pencuri dengan tongkat)
9.        Lafadz ما  dan أىُّ   yang berupa istifham, seperti contoh :
ما أكرمتُ خالداً (dengan apakah anda memulyakan kholid)
أىُّ عيشٍ تعيشُ (dengan kehidupan apa saja anda menghayal hidup)
10.    Lafadz ما  , مهما , dan أىَّ  yang berfaidah syarat, seperti contoh :
ما تجلسْ أجلسْ (dengan apapun jika anda duduk, maka saya pun akan duduk)
مهما تقفْ أقفْ (bila juapun anda berdiri, maka saya pun berdiri)
أىِّ سيرٍ تسرْ أسرْ (dengan manapun cara berjalan, jika anda berjalan maka saya pun akan berjalan)
11.    Lafadz  كل , بعض , dan أي  yang menunjukkan arti kesempurnaan, yang dimudhofkan kepada masdar, seperti contoh :
فلا تميلوا كل الميلِ (karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai)
سعبتُ بعض اليعىِ (saya telah berusaha dengan sebagai usaha)
إجتهدتُ أي اجتهادٍ (saya telah bersungguh-sungguh dengan kesempurnaan kesungguhan )
Kedua Lafadz  كل ,dan  بعض ,pada hakikatnya termasuk lafadz yang menjadi sifatnya masdar yang berlaku sebagai pengganti masdar. Sebab lafadz tersebut dapat diperkirakan.
Sedangkan lafadh أي  disebut sebagai أي كمالية   karena lafadh itu menunjukkan ma’na kesempurnaan. Lafadh itu, jika terletak setelah isim nakiroh, maka statusnya menjadi sifatnya, seperti dalam contoh : خالد رجل أى رجل  (kholid adalah lelaki yang sempurna lelakinya) artinya bahwa  خالد  adalah seorang lelaki yang sempurnah sifat lelakinya. Kemudian jika lafadh  أى  terletak setelah isim ma’rifah, maka iya menjadi  حال , seperti dalam contoh : مررتُ بعبدِ اللهِ أى رجل   (saya telah berjalan melewati abdullah sebagai lelaki sempurna).
Lafadh أى itu tidak dipakai kecuali dimudhofkan, dan tentu sesuai dengan yang disifatinya, dalam status mudzakar dan mu’annasnya. Hal demikian dimaksudkan untuk disamakan dengan sifat-sifat yang terdiri dari isim yang musytaq, bukan jamid, slain dalam status  mudzakar dan mu’annas lafadh  أى  tidak perlu menyesuaikan.
12.    Isim isyaroh yang diisyarohkan kepada masdar, baik yang diikuti dengan masdar, seperti contoh :  قلتُ ذلك القولَ  (saya telah mengucapkan ucapan itu). Ataupun yang tidak diikuti dengan masdar, seperti contoh : هل اجتهدتَ اجتهاداً حسناً (apakah engku telah berijtihad dengan ijtihad yang baik?), kemudian dijawab dengan ucapan : اجتهدتَ ذلك  (saya telah berijtihad dengan ijtihad itu)

D.    AMILNYA MAF’UL MUTLAQ 
‘Amil yang mengamalkan maf’ul mutlaq ialah salah satu dari tiga macam ‘amil, yaitu :
1.        Fi’il taam yang muttashorif, seperti contoh :
أتقنْ عملكَ إتقاناً (kokohkanlah pekerjaanmu dengan sebaik-baiknya )
2.        Isim sifat yang keluar dari fi’il taam muttashorif, seperti contoh :
رأيتُ مسرعاً إسراعاً عظيماً  (saya telah melihatnya sebagai orang yang cepat dengan kecepatan yang besar)
3.        Masdarnya fi’il taam muttashorif, seperti contoh :
فرحتُ باجتهادك اجتهاداً حسناً (saya bergembira terhadap kesungguhanmu dengan kesungguhan yang baik)

E.     HUKUM-HUKUM I’ROBNYA MAF’ULMUTLAQ
maf’ul mutlaq mempunyai status hukum i’rob tiga macam hukum, yaitu :
1.        Wajib dibaca nashob.
2.        Wajib terletak setelah amil, bila untuk berfaidah menguatkan, jika untuk menunjukkan macam atau jumlah, maka boleh saja maf’ul mutlaq dituturkan sebelah amil ataupun sesudahnya,kecuali jika maf’ul mutlaq itu berupa istifham atau isim syarat, maka wajib didahulukan atas amil, sebagaimana diketahui dalam contoh-contoh terdahul, hal ini disebutkan karena isim istifham dan isim syarat mempunyai ketentuan diawal kalimat.
3.        Amilnya boleh dibuang jika berupa maf’ul mutlaq yang menunjukkan macam atau jumlah karena ada bukti atau qorinah yang menunjukkannya, seperti contoh : ما جلستَ ؟ (apakah engkau tidak duduk), kemudian jawabnya بلى جلوساً طويلاً  (ya, betul dengan duduk yang lama) , atau بلى جلستين  (ya, betul dengan kali duduk)
Adapun masdar yang berfaidah mengukuhkan, maka tidak boleh dibuang ‘amilnya menurut pendapat yang lebih benar dari madzhab ulama’ nahwu. Sebab, disebutkannya masdar  ta’kid itu bertujuan untuk menguatkan dan mengukuhkan, sedangkan membuang amilnya berarti menghilangkan majsud dan tujuannya.
Adapun masdar yang disebutkan untuk menggantikan fi’ilnya, artinya sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya, maka tidak boleh menyebutkan amilnya, bahkan wajib dibuang, seperti contoh : ويل الظالمين  (sungguh celaka bagi orang-orang dholim).

F.     MASDAR YANG MENGGANTI FI’ILNYA
Masdar yang menggantikan fi’ilnya ialah masdar yang disebutkan sebagai ganti dari lafadh fi’ilnya. Masdar seperti ini ada tuju macam, yaitu :
1.        Masdar yang berfungsi sebagai amar (perintah), seperti contoh :
صبراً على الأذى فى المجد  (bersabarlah dengan sungguh-sungguh terhadap derita menghadapi keagungan)
بلهاً الشر , و بلهَ الشرِّ (biarkanlah keburukan , tinggalkanlah keburukan)
Lafadh بلهَ  kadang-kadang dilakukan pemakaiannya dengan dimudhofkan atau ditanwini, sebagaimana dimaklumi. Tetapi yang banyak dipakai sebagai isim fi’il amar yang memakai ma’nanya lafadh اتركْ  .
2.        Masdar yang berfungsi sebagai nahi (larangan), seperti contoh :
اجتهاداً لا كسلاً (bersungguh-sungguhlah, jangan malas)
صبراً لا جزعاً  (bersabarlah jangan berkelu kesah)
Masdar ini tidak dipakai dengan ma’na nahi kecuali mengikuti kepada masdar yang dimaksudkan untuk ma’na amar, sebagaimana diketahui.
3.        Masdar yang berfungsi sebagai do’a, seperti contoh :
سقياً لك و رعياً (mudah-mudahan anda mendapat siraman dan penjagaan)
نكساً للمتكبر (kehinaan bagi orang yang sombong)
Lafadh-lafadh yang berlaku tersebut, menurut imam sibawaih tidak boleh disamakan dengan yang lainnya, namun imam al-akhfasy membolehkan lafadh yaang lain disamakan dengannya. Tetapi hanya lafadh yang memang benar jika dilakukan untuk hal tersebut itu.
Masdar-masdar tersebut itu tidak boleh dipakai dengan dimudhofkan kecuali dalam kalimat yang menunjukkan ma’na buruk. Jika dimudhofkan, maka wajib dibaca nashob, seperti contoh :  بعدَ الظالم و سحقَهُ (sesungguhnys rahmat Allah bagi orang dholim sungguh binasalah dia). Dan tidak boleh di baca rafa’, karena kalau rafa’ statusnya sebagai mubtada’ yang tiada khobar. Jika tidak dimudhofkan, maka boleh dibaca nashob dan boleh dibaca rafa’ sebagai mubtada’, seperti lafadh :  عذاباً لهُ  dan  عذابٌ لهُ , tetepi lebih baik dibaca nashob. Apabila dima’rfattkan dengan  ال maka yang lebih baik adalah dibaca rafa’ sebagai mubtada’, seperti contoh : الخيبةُ للمفسد  (kerugian itu bagi orang yang berbuat kerusakan).
Diantara berbagai masdar yang dipakai untuk ma’na do’a ialah beberapa masdar yang pemakaiannya mengabaikan fi’ilnya, yaitu lafadz : ويلهُ , ويبَهُ (celakalah dia), ويحَهُ , ويسَهُ  (kasihan dia). Lafadh-lafadh tersebut dibaca nashob dengan fi’ilnya yang di abaikan (fi’il muhmal) atau dengan fi’il yang sema’na.
Lafadh  ويلَ , ويبَ adalah dua kalimat yang menakut-nakuti yang diucapkan ketika mencerca dan mencela. Dan lafadh , ويسَ  ويحَ dua kalimat yang menunjukkan kasih sayang yang diucapkan ketika mengingkari yang tidak bertujuan mencela dan mencerca. Tetapi untuk tujuan mengingatkan kesalahan. Kemudian lafadh-lafadh itu banyak dipakai sehingga menjadi lafadh yang menampakkan rasa taajub yang diucapkan oleh orang yang suka pada seseorang yang disukai atau di benci.
Apabila lafadh-lafadh tersebut dimudhofkan, maka wajiblah dibaca nashob dan tidak boleh dibaca rafa’. Sebab, jika rafa’ statusnya sebagai mubtada’ yang tiada khobarnya. Namun bila tidak dimudhofkan, maka boleh dibaca rafa’ dan boleh dibaca nashob. Seperti contoh :  ويلٌ لهُ  , ويحٌ لهُ  dan lafadh : ويلاً لهُ , ويحاً لهُ  tetapi yang lebih baik adalah dibaca rafa’.
4.        Masdar yang terletak setelah istifham, namun bertujuan mencela (tausikh) atau merasa heran(ta’ajub) atau merasa sakit(tauji’).
Yang bertujuan mencela, seperti contoh :
أجرعةً على المعاصى (apakah dengan keberanian melakukan kedurhakaan-kedurhakaan itu)
Yang bertujuan merasa heran, seperti contoh :
أشوقاً ؟ و لمّا يمضِ لي غيرُ ليلةٍ * فكيفَ إذا خبَّ المطيُّ بنا عشراَ (apakah dengan rasa rindu ? padahal bagi saya belum lewat selain hanya semalam. Bagaimana kiranya jikalau kendaraan telah melangkah dengan kami sepuluh malam)
Yang bertujuan merasa sakit, seperti contoh :
أسجناً و قتلاً واشتياقاً وغربةً * ونأيَ حبيبٍ ؟ إنّ ذا لعظيم (apakah dengan dipenjara , denan dibunuh, dengan rasa rindu, dengan mengembara, dan dengan jauh dari kekasih ? sesungguhnya yang demikian ini adalah amat berat rasanya)
Kadang kadang istilah dalam rangkaian susunan macam masdar tersebut, tidak disebutkan. Tetapi hanya diperkirakan, seperti ucapan penyair :
خمولاً واهمالاً ؟ و غيرُكَ موْلعٌ * بتثبيتِ اؤكانِ السِّيادةِ والمجدِ (apakah dengan tiada dikenal namanya dan dibiarkan tidak dipakai ? padahal selain anda sangat cinta mengokohkan sendi-sendi kepemimpinan dan keaagungan)
Dalam ucapan sya’ir diatas diperkirakan istifhamnya, kalau diucapkan berbunyi  أخمولاً ؟  dalam contoh ini, bertujuan untuk mencela.
5.         Beberapa masdar sama’i (مصادر المسموعة) , yang banyak pemakaiannya, dan telah ditunjukkan oleh beberapa tanda (qorinah) mengenai amilnya, sehimgga menjadi pepatah, seperti contoh :
حمداً لله وشكراً (aku sungguh memuji Allah dan bersyukur)
Kadang-kadang juga ditanyakan dengan pertanyaan : أتفعلُ هذا ؟  (apakah kamu melakukan hal ini), kemudian dijawab dengan ucapan : أتفعلُهُ وكراماً ومسرَّةً  (saya menlakukannya dan sungguh memalukan dan sugguh merasa senang)
Apabila lafadh حمداً وشكرا disendirikan, artinya diucapkan secara satu kata-satu kat sperti diucapkannya حمداً atau شكراً  , makadalam hal ini diperbolehkan menampakkan fi’il yang mengamalkannya, karena itu bleh diucapkan : احمدُ الله حمداً  (saya memuji kepada Allah dengan sungguh-sungguh memuji), atau : أشكرُ الله شكراً  (saya bersyukur kepada Allah dengan sungguh-sungguh bersyukur).
Sedangkan lafadh لا كفراً  ,tidak pernah dipakai kecuali dirangkai dengan ucapan حمداً وشكراً . Diantara macam masdar sama’i lagi adalah :  سبحانَ اللهِ (maha suci Allah dan maha bersih Allah dari segala yang tidak pantas baginya), dan juga : معاذاَ اللهِ   (aku berlindung kepada Allah). Kedua lafadz tersebut tidak pernah dipakai dalam percakapan kecuali dimudhofkan.
Diantara madar sima’i yang lain adalah lafadh حِجْرٌ  , penggunaan lafadh itu biasanya dikatakan kepada seseorang : أتفعلُ هذا ؟  (apakah kamu mengerjakan ini), kemudian dijawab dengan lafadh : حِجْراً  dengan memakai arti : منعاً بمعنى أمنع نفسى منه, وأبعِدُه , وأبرأُ منهُ  (aku mencegak diriku dari padanya, aku menjauhkan diriku dari padanya, aku membebaskan diriku dari padanya) lafadh tersebut dalam pengertian mohon perlindungan.
Orang-orang sering kali ketika ditimpah hal-hal yang kurang disukai mengucapkan ucapan : حجراً محجوراً  dengan memakai arti : منعاً ممنوعاً  (aku mencegah diriku dengan sungguh-sungguh)
Kedudukan sifat berfungssi sebagai pengukuhan. Apabila ada orang yang hendak melakukan berbuatan yang mestinya tidak boleh dikerjakan atau ingin mengerjakan perbuatan yang tidak halal, maka biasanya diucapkan : حجراً محجوراً dengan memakai arti : حرماً محرماً (aku mencegahmu dengan sungguh-sungguh, dan mengharamkan itu dengan sungguh-sumgguh)
Termasuk sebagai contoh masdar sima’i lagi ialah beberapa bentuk masdar  yang ucapannya dalam bentuk tasniyah, seperti contoh : لَبَّيْك , سَعْدَيْك , جَنَانَيْك , دَوَلَيْك , حَذَارَيْك  
6.        Masdar yang terletak sebagai perinci suatu ma’na yang masih global yang berada sebelumnya dan menjelaskan akibat serta hasilnya, seperti contoh :
فشُدُّ والوثاقَ فإمّا منّاً بعدُ وإمّا فداءً (maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu membebaskan mereka atau menerima tebusan).
7.        Masdar yang mengukuhkan kandungan jumlah sebelumnya. Baik masdar itu dirangkai untuk mengukuhkan semata, artinya bukan menghindarkan pengertian yang majaz, karena adanya kalimat hanya membawa arti yang hakiki. Seperti contoh :
لكَ عليَّ الوفاءُ بالعهدِ حقّاً (bagimu atas tanggunganku penetapan janji dengan sesumgguhnya)
Atau untuk mengukuhkan dalam pengertian menghindarkan dari pengertian majaz, seperti contoh :
هو أخى حقّاً (dia adalah saudaraku dengan sebenarnya), ucapan هو أخى membawa pengertian kemungkinan dalam persaudaraan  atu ukhuwwah secara majaz, sedangkan lafadh حقّا adalah yang menghilangkan pengertian kemungkinan majaz tersebut.
Diantara masdar yang mengukuhkan kandungan jumlah ialah ucapan orang-orang arab : لا أفعلُهُ بتّاً وبتاتاً وبتَّةً والبتَّةَ  (saya tidak akan melakukannya dengan pasti).
Dalam menentukan hamzahnya lafadh البتَّةَ boleh dua macam bentuk, yaitu قطع  dan وصل  penentuan hamzah washol sesuai dengan kaidah. Sebab memang berupa hamzah washol lafadz tersebut dipakai untuk segala hal yang telah lewat dan tidak akan kembali.
Semua masdar yang menggantikan fi’ilnya yang telah disebutkan terdahulu, adalah wajib membuang amilnya, sebagai mana kita ketahui. ‘amilnya tidak boleh di sebutkan. Sebab masdar dirangkaikan dalam kalimat hanyalah untuk digunakan sebagai ganti dari fi’il-fi’ilnya.
Perlu diketahui bahwa masdar yang dirangkaikan dalam kalimat yang tujuannya untuk mrnggantikan fi’ilnya artinya menggantikan ucapan fi’ilnya bukanlah termasuk macam masdar yang mengukuhkan, sebagaimana dengan ulama’ nahwu. Namun merupakan macam yang lain artinya merupakan macam masdar terdiri. Sebab jikalau merupakan masdar muakkid tentunya tidak boleh membuang amilny. Sebab, masdar yang ini tujuannya untuk mengukuh dan menguatkan amilnya. Jadi membuang amil pada masdar ini berarti kontrakdiksi dengan tujuan masdar muakkad. Seandainya dari jenis masdar muakkid tentunya boleh menyebutkan amilnya. Tetapi yang demikian tidak seorang pun Ulama’ nahwu yang menjelaskannya. Sedangkan mereka telah sepakat bahwa masdar muakkid boleh menuturkan amilnya, seperti cotoh :
يآ أيُّهاَ الَّذِيْنَ امَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْماً  (yang orang-orang yang beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya).