المفعول المطلق
(MAF’UL
MUTLAQ)
الكاتب : محمد عبد
الجلال
Maf’ul mutlaq ialah masdar yang disebutkan
setelah fi’il dari lafadznya, untuk mengukuhkan ma’nanya, atau menjelaskan
jumlahnya, atau menerangkan macamnya, atau sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya.
1.
Yang mengukuhkan ma’na fi’ilnya, seperti contoh :
وكلم الله موسى تكليماً (dan Allah telah berbicara kepada musa dengan langsung)
2.
Yang menjelaskan jumlahnya,
seperti contoh :
وقفتُ وقفتين (saya telah berdiri dengan dua kali berdiri)
3.
Yang menjelaskan macamnya,
seperti contoh :
سرتُ سيرَ العقلاء
(saya telah berjalan dengan perjalanan seperti perjalanannya orang-orang yang
berakal)
4.
Yang mengganti pengucapan fi’ilnya, seperti contoh :
صبراً على الشدائدِ (saya sabar dengan sesungguhnya terhadap beberapa kepayahan)
A. MASDAR MUBHAM
DAN MASDAR MUKHTAS
Masdar ada dua macam, yaitu :
1.
masdar mubham
2.
dan masdar mukhtas.
Masdar mubhan ialah masdar yang menyamai ma’na
fi’ilnya tanpa tambahan dan pengurangan. Tetapi hanya untuk mengukuhkan atau
sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya. Seperti contoh :
a. Yang untuk mengukuhkan :
قمتُ قياماً (saya
telah berdiri dengan sungguh-sungguh)
ضربتُ اللصَّ ضرباٌ (saya
memukul pencui dengan sungguh-sungguh memukul)
b. Yang sebagai ganti mengucapkan fi’ilnya :
إيماناً لا كفراٌ
(berimanlah dengan sesungguh iman dan janganlah kufur)
سمعاً و طاعةً (saya
mendengar dengan sesungguhnya dan taat dengan sesungguhnya)
Karena ma’nanya adalahامنْ و لا تكفرْ ,
أسمعُ و أطيعُ
Oleh karena itu masdar seperti ini tidak boleh
ditatsniyahkan dan tidak boleh di jama’kan. Sebab masdar yang bertujuan
mengukuhkan berstatus seperti mengulang fi’il. Dan masdar yang mengganti fi’il
berkedudukan seperti fi’il itu sendiri. Karena itu diperlakukan sebagaimana fi’il
dalam hal tidak boleh ditatsniyahkan dan tidak dijama’kan.
Masdar mukhtas ialah masdar yang melebihi
ma’na fi’ilnya, dengan sebab masdar itu memberikan penjelasan tentang macam
atau jumlahnya.
Contoh :
a. Yang menjelaskan macam, seperti contoh :
سرتُ سيرَ العقلاء
(saya telah berjalan dengan perjalanan seperti perjalanannya orang-orang yang
berakal)
b. Yang menjelaskan jumlah, seperti contoh :
ضربتُ اللصَّ ضربتينِ
أو ضرباتِ (saya telah memukul pencuri dengan dua kali pukulan, atu
beberapa pukulan)
Masdar yang menjelaskan jumlah boleh
ditatsniyahkan dan boleh dijama’kan tanpa ada perbedaan pendapat. Sedangkan
masdar yang menjelaskan macam, maka yang benar boleh ditatsniyahkan dan
dijama’kan. Hal ini disamakan dengan masdar yang secara sama’i dapat
ditatsniyahkan dan dijama’kan, seperti lafadz : العقول
(beberapa akal pikiran) الألباب (beberapa
akal,beberapa hati) الحلوم (beberapa
akal,kesopanan,kesantunan). Oleh karena itu dibenarkan juga mengucapkan : قمتُ قيامينِ (saya telah berdiri dengan dua macam cara
berdiri) dengan maksud نوعينِ من القيامِ (dua macam cara berdiri).
Bentuk masdar juga
mempunyai kekhususan, yaitu dimasuki “al al-ahdiyah”, seperti contoh :قمتُ القيامَ (saya telah berdiri dengan cara berdiri yang
telah diketahui) dengan maksud القيامُ الذى تعهّدُ
(berdiri yang telah diketahui) dan juga dengan “al al-jinsiyyah” seperti contoh
: جلستُ الجلوسَ (saya telah duduk
dengan jenisnya duduk), juga boleh disifati, seperti contoh : سعيتُ فى حاجتكَ سعياً عظيماً (saya telah berusaha memenuhi hajatmu
dengan usaha yang maksimal), dan juga boleh dimudhofkan, seperti contoh : سرتُ سيرَ الصالحين (saya telah berjalan dengan perjalanan
seperti perjalanannya orang-orang shaleh)
B.
MASDAR MUTASHARIF DAN
MASDAR GHOIRU MUTASHARIF
Masdar mutasharif
ialah masdar yang dapat dan boleh dinashabkan sebagai bentuk masdar, dan dapat
juga berlaku sebagai fa”il, atau naibul fa’il, mubtada’, khobar, maf’ul bih,
dan lain-lainnya. Masdar ini meliputi semua bentuk masdar, kecuali sedikit
sekali. Macam ini akan diterangkan mendalam.
Masdar ghoiru
mutasharif ialah masdar yang senantiasa dibaca nashab dengan status masdar atau
maf’ul mutlaq dan tidak dapat dipindah kepada status i’rob yang lain. Seperti
lafadz : سبحان , معاذَ , لبّيك , سعديك , حنانيك ,
دواليك , حذاريك masdar-masdar ini akan
diuraikan penjelasannya pada uraian mendatang.
C.
LAFADZ PENGGANTI
MASDAR
Ada beberapa lafadz
yang dapat mengganti masdar, kemudian lafadz tersebut diberi status hukum
seperti masdar, yaitu dibaca nashab untuk menjadi maf’ul mutlaq . lafadz-lafadz
tersebut ada 12 macam, yaitu :
1.
Isim masdar, seperti contoh :
سلمتُ سلاماً (saya
telah mengucapkan salam dngan sungguh-sungguh mengucapkan salam)
2.
Sifatnya masdar, seperti contoh
:
أذكروا الله كثيراً
(sebutlah allah dengan sebanyak-banyaknya)
3.
Dhomir yang kembalikepada masdar,
seperti contoh :
فإنى اعذبه عذاباً لا
أعذبه أحداً من العالمين (maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak
pernah aku timpahkan kepada seorangpun diantara umat manusia)
4.
Sinonim masdar, seperti contoh :
قمتُ وقوفاً (saya
telah berdiri dengan sungguh-sungguh berdiri)
5.
Suatu masdar yang sama asal
musytaqnya, seperti contoh :
واللهُ أنبتَكمْ من
الأرض نباتاً (dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya)
6.
Lafadz yang menunjukkan macamnya
masdar, sperti contoh :
قعدَ القرفصاءَ (ia
duduk dengan berjongkok)
7.
Lafadz yang menunjukkan jumlah
atau bilangannya masdar, seperti contoh :
فجلدوهمْ ثمانين جلدةً (maka
deralah mereka yang menudu itu dengan delapan puluh kali dera)
8.
Lafadz yang menunjukkan arti
suatu peralatan yang dipakai oleh masdar, seperti contoh :
ضربتُ اللصَّ عصاً (saya
memukul pencuri dengan tongkat)
9.
Lafadz ما
dan أىُّ yang berupa istifham,
seperti contoh :
ما أكرمتُ خالداً (dengan
apakah anda memulyakan kholid)
أىُّ عيشٍ تعيشُ (dengan
kehidupan apa saja anda menghayal hidup)
10.
Lafadz ما
, مهما , dan أىَّ yang berfaidah syarat, seperti contoh :
ما تجلسْ أجلسْ (dengan
apapun jika anda duduk, maka saya pun akan duduk)
مهما تقفْ أقفْ (bila
juapun anda berdiri, maka saya pun berdiri)
أىِّ سيرٍ تسرْ أسرْ (dengan
manapun cara berjalan, jika anda berjalan maka saya pun akan berjalan)
11.
Lafadz كل
, بعض , dan أي yang menunjukkan arti kesempurnaan, yang
dimudhofkan kepada masdar, seperti contoh :
فلا تميلوا كل الميلِ (karena
itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai)
سعبتُ بعض اليعىِ (saya
telah berusaha dengan sebagai usaha)
إجتهدتُ أي اجتهادٍ (saya telah
bersungguh-sungguh dengan kesempurnaan kesungguhan )
Kedua Lafadz كل
,dan بعض
,pada hakikatnya termasuk lafadz yang menjadi sifatnya masdar yang berlaku
sebagai pengganti masdar. Sebab lafadz tersebut dapat diperkirakan.
Sedangkan lafadh أي
disebut sebagai أي كمالية karena lafadh itu menunjukkan ma’na
kesempurnaan. Lafadh itu, jika terletak setelah isim nakiroh, maka statusnya
menjadi sifatnya, seperti dalam contoh : خالد رجل أى
رجل (kholid adalah lelaki
yang sempurna lelakinya) artinya bahwa خالد
adalah seorang lelaki yang sempurnah sifat lelakinya. Kemudian jika
lafadh أى terletak setelah isim ma’rifah, maka iya
menjadi حال
, seperti dalam contoh : مررتُ بعبدِ اللهِ أى رجل (saya telah berjalan melewati abdullah
sebagai lelaki sempurna).
Lafadh أى itu tidak dipakai kecuali dimudhofkan, dan
tentu sesuai dengan yang disifatinya, dalam status mudzakar dan mu’annasnya.
Hal demikian dimaksudkan untuk disamakan dengan sifat-sifat yang terdiri dari
isim yang musytaq, bukan jamid, slain dalam status mudzakar dan mu’annas lafadh أى tidak perlu menyesuaikan.
12.
Isim isyaroh yang diisyarohkan
kepada masdar, baik yang diikuti dengan masdar, seperti contoh : قلتُ ذلك القولَ (saya telah mengucapkan ucapan itu). Ataupun
yang tidak diikuti dengan masdar, seperti contoh : هل
اجتهدتَ اجتهاداً حسناً (apakah engku telah berijtihad dengan
ijtihad yang baik?), kemudian dijawab dengan ucapan : اجتهدتَ
ذلك (saya telah berijtihad
dengan ijtihad itu)
D.
AMILNYA MAF’UL MUTLAQ
‘Amil yang mengamalkan
maf’ul mutlaq ialah salah satu dari tiga macam ‘amil, yaitu :
1.
Fi’il taam yang muttashorif,
seperti contoh :
أتقنْ عملكَ إتقاناً
(kokohkanlah pekerjaanmu dengan sebaik-baiknya )
2.
Isim sifat yang keluar dari fi’il
taam muttashorif, seperti contoh :
رأيتُ مسرعاً إسراعاً
عظيماً (saya telah melihatnya
sebagai orang yang cepat dengan kecepatan yang besar)
3.
Masdarnya fi’il taam muttashorif,
seperti contoh :
فرحتُ باجتهادك
اجتهاداً حسناً (saya bergembira terhadap kesungguhanmu dengan kesungguhan yang
baik)
E.
HUKUM-HUKUM I’ROBNYA
MAF’ULMUTLAQ
maf’ul mutlaq
mempunyai status hukum i’rob tiga macam hukum, yaitu :
1.
Wajib dibaca nashob.
2.
Wajib terletak setelah amil, bila
untuk berfaidah menguatkan, jika untuk menunjukkan macam atau jumlah, maka
boleh saja maf’ul mutlaq dituturkan sebelah amil ataupun sesudahnya,kecuali
jika maf’ul mutlaq itu berupa istifham atau isim syarat, maka wajib didahulukan
atas amil, sebagaimana diketahui dalam contoh-contoh terdahul, hal ini
disebutkan karena isim istifham dan isim syarat mempunyai ketentuan diawal
kalimat.
3.
Amilnya boleh dibuang jika berupa
maf’ul mutlaq yang menunjukkan macam atau jumlah karena ada bukti atau qorinah
yang menunjukkannya, seperti contoh : ما جلستَ ؟
(apakah engkau tidak duduk), kemudian jawabnya بلى
جلوساً طويلاً (ya, betul dengan duduk
yang lama) , atau بلى جلستين (ya, betul dengan kali duduk)
Adapun masdar yang
berfaidah mengukuhkan, maka tidak boleh dibuang ‘amilnya menurut pendapat yang
lebih benar dari madzhab ulama’ nahwu. Sebab, disebutkannya masdar ta’kid itu bertujuan untuk menguatkan dan
mengukuhkan, sedangkan membuang amilnya berarti menghilangkan majsud dan
tujuannya.
Adapun masdar yang
disebutkan untuk menggantikan fi’ilnya, artinya sebagai ganti mengucapkan
fi’ilnya, maka tidak boleh menyebutkan amilnya, bahkan wajib dibuang, seperti
contoh : ويل الظالمين (sungguh celaka bagi orang-orang dholim).
F.
MASDAR YANG MENGGANTI
FI’ILNYA
Masdar yang
menggantikan fi’ilnya ialah masdar yang disebutkan sebagai ganti dari lafadh
fi’ilnya. Masdar seperti ini ada tuju macam, yaitu :
1.
Masdar yang berfungsi sebagai
amar (perintah), seperti contoh :
صبراً على الأذى فى
المجد (bersabarlah dengan
sungguh-sungguh terhadap derita menghadapi keagungan)
بلهاً الشر , و بلهَ الشرِّ
(biarkanlah keburukan , tinggalkanlah keburukan)
Lafadh بلهَ kadang-kadang dilakukan pemakaiannya dengan
dimudhofkan atau ditanwini, sebagaimana dimaklumi. Tetapi yang banyak dipakai
sebagai isim fi’il amar yang memakai ma’nanya lafadh اتركْ
.
2.
Masdar yang berfungsi sebagai
nahi (larangan), seperti contoh :
اجتهاداً لا كسلاً
(bersungguh-sungguhlah, jangan malas)
صبراً لا جزعاً (bersabarlah jangan berkelu kesah)
Masdar ini tidak dipakai dengan
ma’na nahi kecuali mengikuti kepada masdar yang dimaksudkan untuk ma’na amar,
sebagaimana diketahui.
3.
Masdar yang berfungsi sebagai
do’a, seperti contoh :
سقياً لك و رعياً
(mudah-mudahan anda mendapat siraman dan penjagaan)
نكساً للمتكبر
(kehinaan bagi orang yang sombong)
Lafadh-lafadh yang
berlaku tersebut, menurut imam sibawaih tidak boleh disamakan dengan yang
lainnya, namun imam al-akhfasy membolehkan lafadh yaang lain disamakan
dengannya. Tetapi hanya lafadh yang memang benar jika dilakukan untuk hal
tersebut itu.
Masdar-masdar tersebut
itu tidak boleh dipakai dengan dimudhofkan kecuali dalam kalimat yang
menunjukkan ma’na buruk. Jika dimudhofkan, maka wajib dibaca nashob, seperti
contoh : بعدَ
الظالم و سحقَهُ (sesungguhnys rahmat Allah bagi orang dholim sungguh binasalah
dia). Dan tidak boleh di baca rafa’, karena kalau rafa’ statusnya sebagai
mubtada’ yang tiada khobar. Jika tidak dimudhofkan, maka boleh dibaca nashob
dan boleh dibaca rafa’ sebagai mubtada’, seperti lafadh : عذاباً لهُ dan عذابٌ لهُ , tetepi lebih baik dibaca nashob. Apabila
dima’rfattkan dengan ال maka yang lebih baik adalah dibaca rafa’ sebagai mubtada’,
seperti contoh : الخيبةُ للمفسد (kerugian itu bagi orang yang berbuat
kerusakan).
Diantara berbagai
masdar yang dipakai untuk ma’na do’a ialah beberapa masdar yang pemakaiannya
mengabaikan fi’ilnya, yaitu lafadz : ويلهُ , ويبَهُ
(celakalah dia), ويحَهُ , ويسَهُ (kasihan dia). Lafadh-lafadh tersebut dibaca
nashob dengan fi’ilnya yang di abaikan (fi’il muhmal) atau dengan fi’il yang
sema’na.
Lafadh ويلَ , ويبَ
adalah dua kalimat yang menakut-nakuti yang diucapkan ketika mencerca dan
mencela. Dan lafadh , ويسَ ويحَ dua kalimat yang
menunjukkan kasih sayang yang diucapkan ketika mengingkari yang tidak bertujuan
mencela dan mencerca. Tetapi untuk tujuan mengingatkan kesalahan. Kemudian
lafadh-lafadh itu banyak dipakai sehingga menjadi lafadh yang menampakkan rasa
taajub yang diucapkan oleh orang yang suka pada seseorang yang disukai atau di
benci.
Apabila lafadh-lafadh
tersebut dimudhofkan, maka wajiblah dibaca nashob dan tidak boleh dibaca rafa’.
Sebab, jika rafa’ statusnya sebagai mubtada’ yang tiada khobarnya. Namun bila
tidak dimudhofkan, maka boleh dibaca rafa’ dan boleh dibaca nashob. Seperti
contoh : ويلٌ
لهُ , ويحٌ لهُ dan lafadh :
ويلاً لهُ , ويحاً لهُ tetapi yang lebih baik adalah dibaca rafa’.
4.
Masdar yang terletak setelah
istifham, namun bertujuan mencela (tausikh) atau merasa heran(ta’ajub) atau
merasa sakit(tauji’).
Yang bertujuan mencela, seperti
contoh :
أجرعةً على المعاصى (apakah
dengan keberanian melakukan kedurhakaan-kedurhakaan itu)
Yang bertujuan merasa heran,
seperti contoh :
أشوقاً ؟ و لمّا يمضِ
لي غيرُ ليلةٍ * فكيفَ إذا خبَّ المطيُّ بنا عشراَ (apakah dengan rasa rindu ? padahal bagi saya belum lewat
selain hanya semalam. Bagaimana kiranya jikalau kendaraan telah melangkah
dengan kami sepuluh malam)
Yang bertujuan merasa sakit,
seperti contoh :
أسجناً و قتلاً
واشتياقاً وغربةً * ونأيَ حبيبٍ ؟ إنّ ذا لعظيم (apakah dengan dipenjara , denan dibunuh, dengan rasa rindu,
dengan mengembara, dan dengan jauh dari kekasih ? sesungguhnya yang demikian
ini adalah amat berat rasanya)
Kadang kadang istilah dalam
rangkaian susunan macam masdar tersebut, tidak disebutkan. Tetapi hanya
diperkirakan, seperti ucapan penyair :
خمولاً واهمالاً ؟ و
غيرُكَ موْلعٌ * بتثبيتِ اؤكانِ السِّيادةِ والمجدِ (apakah dengan tiada dikenal namanya dan dibiarkan tidak
dipakai ? padahal selain anda sangat cinta mengokohkan sendi-sendi kepemimpinan
dan keaagungan)
Dalam ucapan sya’ir diatas
diperkirakan istifhamnya, kalau diucapkan berbunyi أخمولاً ؟ dalam contoh ini, bertujuan untuk mencela.
5.
Beberapa masdar sama’i (مصادر المسموعة) , yang banyak
pemakaiannya, dan telah ditunjukkan oleh beberapa tanda (qorinah) mengenai
amilnya, sehimgga menjadi pepatah, seperti contoh :
حمداً لله وشكراً (aku
sungguh memuji Allah dan bersyukur)
Kadang-kadang juga
ditanyakan dengan pertanyaan : أتفعلُ هذا ؟ (apakah kamu melakukan hal ini), kemudian
dijawab dengan ucapan : أتفعلُهُ وكراماً ومسرَّةً (saya menlakukannya dan sungguh memalukan dan
sugguh merasa senang)
Apabila lafadh حمداً وشكرا disendirikan, artinya diucapkan secara
satu kata-satu kat sperti diucapkannya حمداً
atau شكراً ,
makadalam hal ini diperbolehkan menampakkan fi’il yang mengamalkannya, karena
itu bleh diucapkan : احمدُ الله حمداً (saya memuji kepada Allah dengan
sungguh-sungguh memuji), atau : أشكرُ الله شكراً (saya bersyukur kepada Allah dengan
sungguh-sungguh bersyukur).
Sedangkan lafadh لا كفراً ,tidak pernah dipakai kecuali dirangkai dengan
ucapan حمداً وشكراً . Diantara macam
masdar sama’i lagi adalah : سبحانَ اللهِ (maha suci Allah dan maha bersih Allah
dari segala yang tidak pantas baginya), dan juga :
معاذاَ اللهِ (aku berlindung kepada Allah). Kedua lafadz
tersebut tidak pernah dipakai dalam percakapan kecuali dimudhofkan.
Diantara madar sima’i
yang lain adalah lafadh حِجْرٌ , penggunaan lafadh itu biasanya
dikatakan kepada seseorang : أتفعلُ هذا
؟ (apakah kamu mengerjakan
ini), kemudian dijawab dengan lafadh : حِجْراً dengan memakai arti : منعاً بمعنى أمنع نفسى منه, وأبعِدُه , وأبرأُ منهُ (aku mencegak diriku dari padanya, aku
menjauhkan diriku dari padanya, aku membebaskan diriku dari padanya) lafadh
tersebut dalam pengertian mohon perlindungan.
Orang-orang sering
kali ketika ditimpah hal-hal yang kurang disukai mengucapkan ucapan : حجراً محجوراً dengan memakai arti : منعاً ممنوعاً (aku
mencegah diriku dengan sungguh-sungguh)
Kedudukan sifat
berfungssi sebagai pengukuhan. Apabila ada orang yang hendak melakukan
berbuatan yang mestinya tidak boleh dikerjakan atau ingin mengerjakan perbuatan
yang tidak halal, maka biasanya diucapkan : حجراً
محجوراً dengan memakai arti : حرماً محرماً
(aku mencegahmu dengan sungguh-sungguh, dan mengharamkan itu dengan
sungguh-sumgguh)
Termasuk sebagai
contoh masdar sima’i lagi ialah beberapa bentuk masdar yang ucapannya dalam bentuk tasniyah, seperti
contoh : لَبَّيْك , سَعْدَيْك , جَنَانَيْك , دَوَلَيْك
, حَذَارَيْك
6.
Masdar yang terletak sebagai
perinci suatu ma’na yang masih global yang berada sebelumnya dan menjelaskan
akibat serta hasilnya, seperti contoh :
فشُدُّ والوثاقَ فإمّا
منّاً بعدُ وإمّا فداءً (maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu membebaskan mereka
atau menerima tebusan).
7.
Masdar yang mengukuhkan kandungan
jumlah sebelumnya. Baik masdar itu dirangkai untuk mengukuhkan semata, artinya
bukan menghindarkan pengertian yang majaz, karena adanya kalimat hanya membawa
arti yang hakiki. Seperti contoh :
لكَ عليَّ الوفاءُ
بالعهدِ حقّاً (bagimu atas tanggunganku penetapan janji dengan sesumgguhnya)
Atau untuk mengukuhkan dalam
pengertian menghindarkan dari pengertian majaz, seperti contoh :
هو أخى حقّاً (dia
adalah saudaraku dengan sebenarnya), ucapan هو أخى
membawa pengertian kemungkinan dalam persaudaraan atu ukhuwwah secara majaz, sedangkan lafadh حقّا adalah yang
menghilangkan pengertian kemungkinan majaz tersebut.
Diantara masdar yang
mengukuhkan kandungan jumlah ialah ucapan orang-orang arab : لا أفعلُهُ بتّاً وبتاتاً وبتَّةً والبتَّةَ (saya tidak akan melakukannya dengan pasti).
Dalam menentukan
hamzahnya lafadh البتَّةَ boleh dua macam
bentuk, yaitu قطع dan وصل penentuan hamzah
washol sesuai dengan kaidah. Sebab memang berupa hamzah washol lafadz tersebut
dipakai untuk segala hal yang telah lewat dan tidak akan kembali.
Semua masdar yang
menggantikan fi’ilnya yang telah disebutkan terdahulu, adalah wajib membuang
amilnya, sebagai mana kita ketahui. ‘amilnya tidak boleh di sebutkan. Sebab
masdar dirangkaikan dalam kalimat hanyalah untuk digunakan sebagai ganti dari
fi’il-fi’ilnya.
Perlu diketahui bahwa
masdar yang dirangkaikan dalam kalimat yang tujuannya untuk mrnggantikan
fi’ilnya artinya menggantikan ucapan fi’ilnya bukanlah termasuk macam masdar
yang mengukuhkan, sebagaimana dengan ulama’ nahwu. Namun merupakan macam yang
lain artinya merupakan macam masdar terdiri. Sebab jikalau merupakan masdar
muakkid tentunya tidak boleh membuang amilny. Sebab, masdar yang ini tujuannya
untuk mengukuh dan menguatkan amilnya. Jadi membuang amil pada masdar ini
berarti kontrakdiksi dengan tujuan masdar muakkad. Seandainya dari jenis masdar
muakkid tentunya boleh menyebutkan amilnya. Tetapi yang demikian tidak seorang
pun Ulama’ nahwu yang menjelaskannya. Sedangkan mereka telah sepakat bahwa
masdar muakkid boleh menuturkan amilnya, seperti cotoh :
يآ أيُّهاَ الَّذِيْنَ امَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْماً (yang orang-orang yang
beriman, bersholawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar