BAB ISTISNA’
A.
PENGERTIAN
Istisna’ menurut bahasa adalah pengecualian, sedangkan menurut
istilah adalah mengecualikan suatu perkara setelah adanya lafadz إلا atau saudara-saudaranya إلا. Atau bisa juga diartikan dengan mengkhususkan sifat yang umum dengan
di tengah-tengahi oleh salah satu adat dari beberapa adat istisna’.
Adapun uslub istisna’ itu tersusun atas 3 pokok, yaitu adat
istisna’, مستثنى dan مستثنى منه. Maksud dati adat istisna’ adalah alat
atau perantara yang digunakan untuk mengecualikan. Maksud dari مستثنى adalah lafadz yang dikecualikan atau
lafadz yang jatuh setelah adat istitsna’, sedangkan مستثنى منهadalah lafadz yang mengeluarkan atau lebih mudahnya yaitu lafadz
yang jatuh sebelum adat istitsna’.
Misalkan جاء القوم إلا زيدا lafadz جاء kedudukannya sebagai mahkum bih (yang
menghukum atau hukum), sedangkan mahkum alainya (yang dihukumi) atau yang
dihukumi datang adalah lafadz القوم.
Nah, terus manakah yang dinamakan مستثنى dan مستثنى منه?....
sesuai dengan pengertian/devinisi di atas dapat disimpulkan bahwa مستثنى nya adalah lafadz زيدا
, sedangkan مستثنى منه
nya adalah lafadz القوم .
Namun, selain imam kuffah dan imam bagdad ada yang membolehkan
bahwa mustatsna minu boleh di akhir atau setelah adat istisna’, sedangkan
amilnya tetap di awal. Misalnya, ماجاءإلاخالداأحدٌ. Lafadz خالدا
kedudukannya sebagai istisna’ dengan إلا
dan lafadz أحدٌ nya berkedudukan
sebagai fa’il. Atau kalimat ماجاء إلاخالدٌ أحدٌ. Lafadz خالدٌ kedudukannya menjadi fa’il dari lafadz جاء, dan lafadz أحدٌ kedudukannya menjadi badal dari lafadz خالدٌ. Jumlah di atas masuk pada jenis istisna
yang kalam tam manfi, yang mana keterangannya akan dijelaskan pada bagian
macam-macam istisna’.
B.
HURUF-HURUF ISTITSNA’
Huruf-huruf istitsna’ ada 8, namun dapat kita simpulkan menjadi 4
sesuai dengan fungsi dan faidahnya, yaitu:
1.
Kalimat
huruf, yaitu إلا
2.
Kalimat
isim, yaitu غير, سِوى, سُوى, سَواء
3.
Kalimat
fi’il, yaitu ليس dan لايكون
4.
Kalimat
taroddud antara fi’il dan huruf, yaitu خلا, عدا, حاش.
Untuk kalimat حاش sering biasanya
digunakan sebagai kalimat huruf.
Sebagai tambahan, jika yang dimaksud huruf istisna’ berupa kalimat
isim, maka lafadz yang jatuh setelahnya dibaca majrur karena menjadi mudhof
ilaihnya. Sedangkan jika yang dimaksud adalah fi’il, maka lafadz yang jatuh
setelahnya berkedudukan menjadi maf’ul bihnya. Dan jika yang dimaksud adalah
kalimat fi’il naqish yang sesuai di atas, maka lafadz yang jatuh setelahnya
adalah menyesuaikan kedudukan/amil yang sesuai dengannya.
C.
KRITERIA ISTISNA’
Pada bab
istisna’ ini tedapat beberapa kriteria, diantaranya:
1.
Pengecualian
itu harus menggunakan isim ma’rifat/isim nakiroh yang berfaidah. Ciri-ciri
nakirih mufidah diantaranya:
a.
Jika
diidhofahkan
Contohnya, جاء القوم إلا رجلَ سوءٍ
b.
Jika
disifati
Contohnya, جاء القوم إلا رجلا مريضا
c.
Jika
bergabung dengan kalimat lain dapat diketahui maknanya
Contohnya, فَلَبِثَ فيْهم أَلْفَ سَنَةٍ
إلا خمسين عاما (العنكبوت:14)
d.
Jika
ada keterkaitan/didahului oleh nafi, nahi, ataupun isstifham inkary. Contohnya,
ما جاء القوم إلا حمار
2.
Adanya
keterkaitan antara mustasna dan mustasna minhu, diantaranya:
a.
Adakalanya
yang dikecualikan itu sedikit dari yang banyak
b.
Adakalanya
yang dikecualikan itu banyak dari yang lebih banyak
c.
Adakalanya
yang dikecualikan itu setengah dari asalnya. Misalnya, له عليٌ عشرةٌ إلا خمسةً , ياأيهاالمزمّل.
قمِ الليلَ إلا قليلا نصفَه (المزمّل:1-2)
D.
JENIS-JENIS ISTISNA’
Jenis-jenis
istisna’ terbagi menjadi 2, yaitu muttashil dan munqoti’:
a.
Muttashil
adalah lafadz yang mustasna dan mustasna minhunya sejenis, atau biasa disebut
dengan istisna’ haqiqi, dan berfaidah menghususkan sesuatu yang umum. Misalnya,
جاء القوم إلا رجلا مريضا , lafadz رجلا مريضا
sejenis dengan lafadz القوم, yaitu sama-sama
makhuluq berakalnya.
b.
Munqoti’
adalah istisna’ yang mustasna dan mustasna minhunya tidak sejenis dan berfaidah
pembentukan bukan penghususan, dan munqoti’ itu seperti bermakna لكن (tetapi). Misalnya, pada ayat alqu’an:
. ماأنزل عليك القرآنَ لِتشقي * إلا تذكرةً لمن يخشى
(طه:2-3) أي: لكن أنزلناه تذكرةً لمن يخشى
فذكِّر
إنما أنت مذكّرٌ * إلا مَن تولىَّ وكفر * فيُعذِّبه الله العذاب الأكبرَ (
الغاشية: 21-24) أي لكن تولىَّ و كفر.
Dari kedua jenis tersebut dapat diketahui perbedaannya selain dari makna
juga dari macam atau bentuk kalimatnya, yang akan dibahas sebagai berikut.
E.
MACAM-MACA ISTISNA’
Macam-macam
istisna’ ada 3, yaitu:
1.
Kalam
tam mujab
Kalam tam mujab adalah kalimat yang didalamnya disebutkan mustasna
dan mustasna minhunya namun tidak didahului oleh maa nafi atau shibhun nafi,
syibhun nafi terdiri dari laa nafi atau istifham inkary.
Misalnya,/
ينجح إلاالكسول التلاميذُ ينجح
التلاميذُ إلا الكسولَ .
2.
Kalam
tam manfi
Kalam tam manfi adalah kalimat yang didalamnya disebutkan mustasna
dan mustasna minhunya serta didahului oleh ma nafi atau shibhun nafi. Misalnya:
-
ماجاء القوم إلاعليٌ/عليًّا (contoh yang maa nafi)
-
لا يقمْ أحدٌ إلا سعيدٌ/سعيدًا (contoh yang laa nafi)
-
هل فعل هذا الرجلُ إلا أنتَ/إيَّاك (contoh yang istifham)
3.
Kalam
naqish
Kalam naqish adalah kalimat
yang tidak disebutkan mustasna minhunya, serta wajib disertai/didahului oleh
maa nafi atau syibhu nafi. Misalnya, ما جاء إلا عليٌّ
D.
HUKUM-HUKUM ISTISNA’
Hukum-hukum
istisna’ sesuai dengan adat istisna’nya, yaitu:
1.
Istisna’
dengan إلا
-
Kalam
tam mujab
Pada kalam tam mujab hukum mustasna minhunya wajib dibaca nashob.
Misalnya ينجح التلاميذُ إلا الكسولَ . lafadz الكسولَ
wajib dibaca nashob karena menjadi istisna’, baik yang muttashil maupun yang
munqoti’
-
Kalam
tam manfi
Pada kalam tam manfi hukum mustasna minhunya ada 2, yaitu boleh
dibaca rofa’ dan juga boleh dibaca nashob:
·
Jika
dibaca nashob maka mustasna minhunya sebagai istisna’. Misalanya, . ماجاء القوم إلا
زيدا
Tetapi mustasna minhunya juga bisa berkedudukan sebagai badal.
Misalnya, ما رأيتُ القومَ إلا زيدا lafadz زيدا bisa berkedudukan sebagai istisna’ juga bisa
berkedudukan sebagai badal dari lafadz القومَ
·
Jika
dibaca rofa’ maka kedudukannya sebagai badal. Misalnya, عليٌّ ماجاء القوم إلا lafadz عليٌّ berkedudukan sebagai badal dari lafadz القوم
Pada
kalam tam manfi terdapat perbedaan bacaan antara bacaan Banu Tamim dan Jumhur
Ulama’, yaitu:
·
Menurut
Banu Tamim, kalimat yang berjenis muttashil dan munqoti’ sama-sama harus dibaca
manshub. Misalnya:
a.
ما قام القوم إلا زيدا ( kalam berjenis
muttashil)
b.
ما قام القوم إلا حمارا (kalam berjenis
munqoti’)
·
Menurut
Jumhur Ulama’, ada perbedaan bacaan antara kalam yang berjenis muttashil dan
kalam yang berjenis munqoti’, yaitu:
a.
Kalam
yang berjenis muttashil, maka mustasnanya boleh di baca rofa’ dan boleh dibaca
nashob. Ketika dibaca rofa’ maka mustasnanya berkedudukan sebagai badal,
sedangkan ketika dibaca nashob maka mustasnanya bisa berkedudukan sebagai
istisna’ ataupun menjadi badal dari mustasna minhunya . Misalnya:
ما
جاء القوم إلا زيدٌ : lafadz زيدٌ
berkedudukan sebagai badal
ما جاء القوم إلا زيدا : lafadz زيدا berkedudukan sebagai istisna’
ما رأيتُ القوم إلا زيدا : lafadz زيدا
berkedudukan sebagai istisna’ atau bisa juga sebagai badal
b.
Kalam
yang berjenis munqoti’, maka mustasnanya wajib dibaca nashob saja. Misalnya, ماخاء القوم إلا حمارا
-
Kalam
naqish
Pada kalam naqish hukum mustasnanya adalah sesuai dengan
amilnya. misalnya, ولا تقولوا على الله إلا الحقَّ
(النساء: 171) lafadz الحقَّ
kedudukannya sebagai maf’ul bih, atau contoh yang mustasnanya berkedudukan
sebagai fa’il adalah هل يهلك القومُ الفاسقون (الأحقاف:
35), ada juga yang nafinya ma’nawy contohnya, ويأْبى الله إلا أن يُتِمَّ نورَهُ (التوبة: 32) لأن معنى يأْبى: لا يريد
2.
Istisna’
dengan غير, سِوى, سُوى, سَواء
Hukum mustasna/lafadz yang jatuh setelah غير,
سِوى, سُوى, سَواء adalah majrur atau menjadi mudhof ilaih
dari adat tersebut. Sedangkan, adat istisna’nya beri’rob/berhukum sesuai dengan
mustasna dengan إلا . misalkan:
-
Pada
kalam tam mujab
جاءالقومُ غيرَ خالدٍ dibaca غير
dengan menfathah huruf ro’ karena menjadi istisna’
-
Pada
kalam tam manfi
ما جاء القوم غيرَ خالدٍ dibaca غيرَ
dengan menfathah huruf ro’ karena menjadi istisna’, atau dibaca
ماجاء القومُ غيرُ خالدٍ dibaca غيرُ
dengan mendhommah huruf ro’ karena menjadi badal dari lafadz القومُ
-
Pada
kalam naqish
ما جاءغيرُ خالدٍ lafadz غيرُdengan mendhommah huruf ro’nya
karena menjadi fa’il
ما رأيتُ غيرَ خالدٍ lafadz غيرَ
dengan menfathah huruf ro’nya karena menjadi maf’ul bih. Tidak dikatakan
istisna’ karena jumlah ini termasuk kalam naqish yang tidak disebutkan mustasna
minhunya
مررتُ بغيرِ خالدٍ lafadz غير
dengan mengkasroh huruf ro’nya karena majrur oleh huruf jar
3.
Istisna’
dengan ليس dan لايكون
Hukum mustsna/lafadz yang jatuh setelah ليس
dan لايكون adalah wajib manshub karena menjadi khobar dari kedua lafadz
tersebut. Misalkan, جاء القوم ليس خالدا / جاء القوم لا
يكون خلدا . lafadz خالدا dinashobkan karena
menjadi khobar, baik khobar dari lafadz ليس
maupun lafadz لا يكون yang
mana isimnya itu tesimpan yang kembali ke mustasna minhunya.
4.
Istisna’
dengan خلا, عدا, حاش
Hukum mustasna/lafadz yang jatuh setelah lafadz خلا, عدا, حاش
adalah boleh dibaca nashob atau dibaca majrur
-
Jika
dibaca fathah maka lafadz خلا, عدا, حاش
sebagai kalimat fi’il madhi dan lafadz yang jatuh setelahnya disebut maf’ul
bih. Misalkan, قام القومُ عدا زيدا
-
Jika
dibaca majrur maka lafadz خلا, عدا, حاش
sebagai huruf jar tambahan dan lafadz yang jatuh setelahnya disebut majrur.
Misalkan, قام القوم عدا زيدٍ
Lafadz
خلا dan عداpaling banyak menashobkan mustasna
dan sedikit memajrurkan mustasnanya. Sedangkan lafadz حاش
paling banyak memajrurkan mustasnanya dan sedikit menashobkan mustasnanya.
Keterangan
tambahan:
Mustasna
boleh dibaca majrur dengan ketentuan:
1.
Huruf
jarnya itu harus asli bukan tambahan.
Misalnya, ما أخذتُ الكتابَ من أحدٍ إلا
خالدٍ
Sedangkan yang dimaksud dengan huruf tambahan adalah seperti contoh
berikut, ماجاءني من أحدٍ إلا خالدًا/خالدٌ
lafadz خالد tidak boleh dibaca majrur karena huruf
jarnya adalah huruf tambahan. Kemudian, lafadz خالد
dibaca manshub karena menjadi istisna’ dengan إلا,
sedangkan ketika dibaca marfu’ lafadz خالد
berkedudukan menjadi badal dari lafadz أحدٍ,
lafadz أحدٍ berkedudukan menjadi fa’il yang bermahal
rofa’.
2.
Huruf
jarnya tidak boleh diulang-ulang
Contoh, مامررتُ بأحدٍ إلا بخالدٍ contoh disamping adalah salah yang benar
adalah ما مررتُ بأحد إلا خالدٍ .
F.
SYIBHUN ISTISNA’
Lafadz-lafadz
yang menyerupai istisna’ adalah لا سيّما dan بيدَ :
1.
Lafadz
لا سيّما
Lafadz لا سيّما adalah kalimat yang
tersusun dari lafadz;
-
لا : laa nafiyah lil jinsi
-
سيّ: isim
-
ما : mempumpunyai 3
keadaan:
·
Huruf
ما berupa huruf tambahan, pada keadaan
seperti ini isim yang jatuh setelah lafadz لا سيّما
dibaca majrur, kedudukannya menjadi mudhof pada lafadz سيّ.
Misalkan, لا سيّما تلميذٍ مثلِك
·
Huruf
ما berupa isim sifat yang disandarkan, dalam
keadaan seperti ini isim yang jatuh setelah لا سيّما
dibaca marfu’,kedudukannnya menjadi khobar yang mubtada’nya dibuang dengan
mengira-ngirakan lafadz هو .
Misalkan, لا سيّما تلميذٌ مثلُك
·
Huruf
ما berupa isim yang bersandar pada lafadz سيّ , dalam keadaan seperti ini isim yang
jatuh setelah لا سيّما dibaca manshub,
kedudukannya menjadi tamyiz ( dengan syarat isimnya nakiroh).
Misalkan, لا سيّما تلميذًا مثلَك
2.
Lafadz
بيدَ
Lafadz بيدَ adalah isim yang
tetap dibaca nashob karena menjadi istisna’. Dan dapat ditemukan pada jenis
istisna’ yang munqoti’. Lafadz بيد
itu harus bersandar pada masdar muawwal yaitu yang dapat menashobkan isim dan
merofa’kan khobar.
Misalnya, إنه لكثير المالِ بيدَ أنه بخيلٍ.
Syukron. Sangat membantu.
BalasHapussyukran sangat2 membantu.. terbaik
BalasHapusSyukron. Atas ilmunya... Semoga bermanfaat
BalasHapusreferensinya kang
BalasHapusboleh tak nak tahu rujukannya dari mana?
BalasHapusMantabb
BalasHapusSyukron katsir
BalasHapusTerimakasih sangat membantu. Jazakallaah khairo jaza.. 🙏
BalasHapusJazakaLlah khairan katsiira. Terima kasih, tulisannya sangat bermanfaat
BalasHapusAssalamualaikum
BalasHapusMaaf Ustadz tolong dicek kembali penjelasan hukum 2 mustasna. Penjelasan mustatsna minhu kelihatannya terbalik.